Open/Close Menu Wava Husada

Fifie Indayani, S.Psi. M.Psi (Klinik Psikologi)

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) beragam macamnya, diantaranya anak down syndrome, anak autis (autism spectrum disorders), anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (attention deficit hyperactivity disorder), anak yang memiliki kemampuan istimewa/ berbakat (gifted), anak dengan keterbelakangan mental (retardasi mental), dan anak yang mengalami gangguan perilaku mudah marah dan tersinggung (oppositional defiant disorder), serta masih banyak lainnya. Mereka masuk ke ranah klinis yang membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.

ABK mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Untuk gangguan pertumbuhan biasanya ditangani dokter, sedangkan gangguan perkembangan, seperti terlambat bicara bisa dikonsultasikan kepada psikolog. ”Anak dikatakan terlambat bicara jika di atas dua tahun perbendaharaan kata belum mencapai 180-200 kata,” terang Ibu Fifie Indayani, S.Psi., M.Psi selaku Psikolog RS Wava Husada.

Ciri atau tanda anak dikatakan berkebutuhan khusus jika perilakunya, kemampuan bicaranya, atau kemampuan berjalannya yang tidak seperti teman seusianya atau sebayanya. Jelas Ibu Fifie, seorang anak usia 9-12 bulan normalnya sudah bisa belajar berjalan. Sedangkan ada ABK yang mengalami gangguan kesulitan untuk belajar berjalan atau justru sangat fasih berjalan bahkan berlari. Kasus lain adalah perihal kemampuan bicara. Ada anak di usia tertentu sudah bisa mengucapkan kata dengan sempurna, misalnya kata ‘mandi’. ABK hanya bisa mengucapkan kata akhiran saja misalnya kata ‘di’.

Menurut Ibu Fifie, contoh kasus di atas dapat menjadi peringatan (warning) awal bagi orang tua segera berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti dokter atau psikolog. Semakin dini deteksi dilakukan semakin cepat penanganan (treatment) yang akan diberikan pada anak kemudian. “Dari psikolog akan membantu dari sisi terapi perilaku, menyesuaikan kebutuhan tiap anak,” tutur Ibu Fifie.

Lanjut Bu Fifie, psikolog akan memberikan pola-pola tertentu yang positif sehingga anak menjadi lebih mandiri mengurus dirinya sendiri. Menurutnya, ABK dikatakan bisa beradaptasi dengan lingkungannya apabila perilaku baru yang positif terbentuk.”Gangguan memang tidak bisa hilang total namun jika berhasil dapat dikatakan mendekati normal,” tuturnya.

Ibu Fifie berharap, para orang tua yang memiliki ABK agar dengan besar hati bisa menerima. Hal ini diakuinya memang tidak mudah. Orang tua memerlukan waktu untuk berdamai dengan dirinya. Selain itu mencari informasi sebanyak-banyaknya bagaimana pola perilaku baru yang bisa dijalankan. Seperti pola makan, dan pola-pola lain yang perlu dibentuk di rumah. “Terapi untuk ABK harus disiapkan dan konsisten. Tidak hanya ketika terapi di rumah sakit. Di rumah pun juga harus disamakan polanya,” imbuh psikolog lulusan Universitas Muhammadiyah Malang tersebut.

WAVA TIMES EDISI 28

Kontak kami        0341.393000